Minggu, 15 Juni 2008

Dalam Kenangan2

Cuaca sore itu sangat cerah. Awan biru berarak ke arah barat. Diikuti oleh sang Matahari yang bersiap untuk memejamkan matanya setelah seharian penuh bertugas.



3 Februari 2005
Cuaca sore itu sangat cerah. Awan biru berarak ke arah barat. Diikuti oleh sang Matahari yang bersiap untuk memejamkan matanya setelah seharian penuh bertugas. Sore itu keponakanku bersama Bibiku datang ke Jakarta ‘tuk menjemputku. Mereka bilang bahwa mereka datang ke Jakarta atas permintaan Ibuku yang untuk terakhir kalinya ingin menatap wajahku. Mereka berharap agar malam ini juga aku segera pulang ke Cirebon. Namun dengan begitu angkuhnya aku bilang kepada mereka bahwa aku belum bisa pulang karena sulit untuk meminta ijin pulang dari kantorku. Aku baru dua bulan bekerja di sebuah Bank Asing, sehingga sulit bagiku untuk meminta ijin.
Malam mulai turun. Langit malam itu begitu cerah. Rembulan menampakkan wajahnya yang sangat cantik, diikuti oleh sepasukan bintang yang setia menemaninya. Seperti malam-malam biasanya, aku tertidur dan tak ada firasat apa-apa tentang ibuku tercinta.

4 Februari 2005
Pagi itu Pukul 05.00 WIB, saudaraku dari Kampung menelepon tetanggaku, Ia bilang bahwa kondisi ibuku sudah semakin parah. Untuk kesekian kalinya mereka memohon agar aku segera pulang saat itu juga. Jiwaku bimbang. Aku ingin segera pulang, namun karena kondisiku sebagai karyawan kontrak yang baru kerja, sulit untuk meminta ijin tidak masuk kerja.
Untuk kesekian kalinya tetanggaku datang sambil membawa telepon. Namun ketika ku angkat, telepon tersebut sudah terputus. Pukul 06.00 WIB, saudaraku bilang bahwa kita hanya bisa berdoa saja, karena kondisi ibuku sudah sekarat. Malaikat sakaratul maut telah menunggunya. Di tempat pembaringan yang lusu dan kumal, kakak sulungku dengan setia memasukkan bubur suap demi suap ke mulut ibuku. Dengan mata sedikit terpejam, dan suara yang begitu lirih ibuku untuk kesekian kalinya menanyakan tentang diriku “Kapan Ruslan pulang?, katanya mau pulang?” Dengan berurai air mata kakak sulungku meyakinkan bahwa aku sedang dalam perjalanan dari Jakarta ke Cirebon.
Namun dengan penuh kepasrahan pada Sang Pencipta dan malaikat maut yang telah menunggunya, dengan suara yang sangat pelan, ibuku memohon kepada kakak sulungku dan berkata “Saya sudah tak kuat lagi, tolong aku titip Ruslan. Jaga dia”. Setelah puas menitipkan pesannya kepada kakak sulungku, Ibu langsung dijemput oleh sang malaikat. Kakakku langsung menelepon aku bahwa ibuku telah pergi.
Aku yang saat itu lagi di kamar mandi mendadak pandanganku gelap, lidahku geluh (tak dapat berkata-kata). Aku ga’ tahu harus ngomong apa. Setelah beberapa saat aku sadar, aku langsung menelepon Supervisor ku, dan aku bilang bahwa hari ini aku tak masuk kerja karena ibuku di kampung wafat.
Pukul 07.00 aku langsung menuju stasiun gambir untuk segera pulang ke kampung. Suara deru mesin kereta api yang diiringi dengan hiruk pikuk pedagang asongan yang dengan muka penuh semangat berharap dapat mengais rejeki sebanyak-banyaknya di pagi yang cerah ini. Namun pagi yang cerah ini musnah hilang lenyap di hatiku yang lagi bermuram durja dan diliputi kesedihan yang mendalam. Kami (aku dan kakakku yang ketiga, serta keponakanku) berharap dapat melihat wajah ibu tercinta untuk yang terakhir kalinya. Aku berangan-angan dapat mencium wajahnya, dan bersimpuh di kakinya untuk terakhir kalinya. Namun Allah berkehendak lain. Sesampainya aku di ‘pondokanku’, aku hanya mendapatkan bangku yang kosong, rumah yang sedikit semrawut. Suasana sepi. Tak ada tetangga yang berkumpul. Hatiku semakin galau, harapankupun musnah. Dari dalam rumah kakak-kakakku, bibi, paman, dan keponakan2ku berhamburan, berlarian menyambut tubuhku yang lunglai. Sambil berlinang air mata, dan dengan suara yang parau, mereka menjelaskan bahwa ibuku telah dikubur.
Mendengar ucapan mereka, hatiku tambah kacau. Di satu sisi aku merasa bersyukur karena semua urusan pemakaman telah selesai walau tanpa kehadiran anak laki-laki dalam keluarga. Namun disisi lain hati semakin teriris. Tak bisakah aku si bungsu yang ‘durhaka’ ini menatap wajah tua ibuku?
Setengah berlari aku langsung menuju ke pemakaman ibuku. Kutatap tumpukan tanah merah di pemakaman yang masih baru. Batin ku berkata “mungkin ini kuburan almarhumah ibuku.” Dengan suara yang berat, dan diiringi oleh buliran air mata dan peluh di seputar dahi dan wajah, kuucapkan salam kepada almarhumah ibuku”. Kulihat keponakan2 dan kakakku datang untuk menjaga diriku. Mungkin mereka khawatir aku jatuh pingsan di kuburan. Dengan tenaga yang tersisa, kubaca Surat Yasin, Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Nash dan tahlil yang kuhadiahkan kepada Almarhumah. Aku hanya memohon dengan bacaan ini aku dapat memohon maaf pada mendiang ibuku.

Cuaca sore itu sangat cerah. Awan biru berarak ke arah barat. Diikuti oleh sang Matahari yang bersiap untuk memejamkan matanya setelah seharian penuh bertugas.



3 Februari 2005
Cuaca sore itu sangat cerah. Awan biru berarak ke arah barat. Diikuti oleh sang Matahari yang bersiap untuk memejamkan matanya setelah seharian penuh bertugas. Sore itu keponakanku bersama Bibiku datang ke Jakarta ‘tuk menjemputku. Mereka bilang bahwa mereka datang ke Jakarta atas permintaan Ibuku yang untuk terakhir kalinya ingin menatap wajahku. Mereka berharap agar malam ini juga aku segera pulang ke Cirebon. Namun dengan begitu angkuhnya aku bilang kepada mereka bahwa aku belum bisa pulang karena sulit untuk meminta ijin pulang dari kantorku. Aku baru dua bulan bekerja di sebuah Bank Asing, sehingga sulit bagiku untuk meminta ijin.
Malam mulai turun. Langit malam itu begitu cerah. Rembulan menampakkan wajahnya yang sangat cantik, diikuti oleh sepasukan bintang yang setia menemaninya. Seperti malam-malam biasanya, aku tertidur dan tak ada firasat apa-apa tentang ibuku tercinta.

4 Februari 2005
Pagi itu Pukul 05.00 WIB, saudaraku dari Kampung menelepon tetanggaku, Ia bilang bahwa kondisi ibuku sudah semakin parah. Untuk kesekian kalinya mereka memohon agar aku segera pulang saat itu juga. Jiwaku bimbang. Aku ingin segera pulang, namun karena kondisiku sebagai karyawan kontrak yang baru kerja, sulit untuk meminta ijin tidak masuk kerja.
Untuk kesekian kalinya tetanggaku datang sambil membawa telepon. Namun ketika ku angkat, telepon tersebut sudah terputus. Pukul 06.00 WIB, saudaraku bilang bahwa kita hanya bisa berdoa saja, karena kondisi ibuku sudah sekarat. Malaikat sakaratul maut telah menunggunya. Di tempat pembaringan yang lusu dan kumal, kakak sulungku dengan setia memasukkan bubur suap demi suap ke mulut ibuku. Dengan mata sedikit terpejam, dan suara yang begitu lirih ibuku untuk kesekian kalinya menanyakan tentang diriku “Kapan Ruslan pulang?, katanya mau pulang?” Dengan berurai air mata kakak sulungku meyakinkan bahwa aku sedang dalam perjalanan dari Jakarta ke Cirebon.
Namun dengan penuh kepasrahan pada Sang Pencipta dan malaikat maut yang telah menunggunya, dengan suara yang sangat pelan, ibuku memohon kepada kakak sulungku dan berkata “Saya sudah tak kuat lagi, tolong aku titip Ruslan. Jaga dia”. Setelah puas menitipkan pesannya kepada kakak sulungku, Ibu langsung dijemput oleh sang malaikat. Kakakku langsung menelepon aku bahwa ibuku telah pergi.
Aku yang saat itu lagi di kamar mandi mendadak pandanganku gelap, lidahku geluh (tak dapat berkata-kata). Aku ga’ tahu harus ngomong apa. Setelah beberapa saat aku sadar, aku langsung menelepon Supervisor ku, dan aku bilang bahwa hari ini aku tak masuk kerja karena ibuku di kampung wafat.
Pukul 07.00 aku langsung menuju stasiun gambir untuk segera pulang ke kampung. Suara deru mesin kereta api yang diiringi dengan hiruk pikuk pedagang asongan yang dengan muka penuh semangat berharap dapat mengais rejeki sebanyak-banyaknya di pagi yang cerah ini. Namun pagi yang cerah ini musnah hilang lenyap di hatiku yang lagi bermuram durja dan diliputi kesedihan yang mendalam. Kami (aku dan kakakku yang ketiga, serta keponakanku) berharap dapat melihat wajah ibu tercinta untuk yang terakhir kalinya. Aku berangan-angan dapat mencium wajahnya, dan bersimpuh di kakinya untuk terakhir kalinya. Namun Allah berkehendak lain. Sesampainya aku di ‘pondokanku’, aku hanya mendapatkan bangku yang kosong, rumah yang sedikit semrawut. Suasana sepi. Tak ada tetangga yang berkumpul. Hatiku semakin galau, harapankupun musnah. Dari dalam rumah kakak-kakakku, bibi, paman, dan keponakan2ku berhamburan, berlarian menyambut tubuhku yang lunglai. Sambil berlinang air mata, dan dengan suara yang parau, mereka menjelaskan bahwa ibuku telah dikubur.
Mendengar ucapan mereka, hatiku tambah kacau. Di satu sisi aku merasa bersyukur karena semua urusan pemakaman telah selesai walau tanpa kehadiran anak laki-laki dalam keluarga. Namun disisi lain hati semakin teriris. Tak bisakah aku si bungsu yang ‘durhaka’ ini menatap wajah tua ibuku?
Setengah berlari aku langsung menuju ke pemakaman ibuku. Kutatap tumpukan tanah merah di pemakaman yang masih baru. Batin ku berkata “mungkin ini kuburan almarhumah ibuku.” Dengan suara yang berat, dan diiringi oleh buliran air mata dan peluh di seputar dahi dan wajah, kuucapkan salam kepada almarhumah ibuku”. Kulihat keponakan2 dan kakakku datang untuk menjaga diriku. Mungkin mereka khawatir aku jatuh pingsan di kuburan. Dengan tenaga yang tersisa, kubaca Surat Yasin, Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Nash dan tahlil yang kuhadiahkan kepada Almarhumah. Aku hanya memohon dengan bacaan ini aku dapat memohon maaf pada mendiang ibuku.

0 comments:

Ya Allah...

Apapun Ibadah Kami Jadikan itu sebagai tanda syukur dan tanda bakti kami kepada-Mu

Recent Comments

Promo/Iklan

 
Copyright © 2010 An-Nafsy' | Design : Noyod.Com Sponsored by NewBloggerTemplates