Rabu, 09 Juni 2010

Gelas Kehidupan

"Bekerjalah kamu, maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Maha Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS At Taubah [9]:105)

Dalam setiap perjalanan pulang melewati sebuah jalan yang sama pada waktu yang sama pula, terlihat oleh hamba itu seorang bapak tua yang sedang menarik gerobak sampah. Salah satu kakinya sedikit cacat yang mengakibatkan ia harus berjalan tertatih-tatih. Dengan wajah yang tegar, ia berjalan sambil sesekali menyeka peluh yang membasahi wajahnya. Sesekali waktu, hamba itu berhenti sekedar ingin memberikan sejumput sedeqah kepadanya. Ia tersenyum dan memuji Rabb-nya Yang Maha Agung sembari merapatkan tangannya untuk berdoa.

Ia mengungkapkan betapa bersyukurnya dirinya. Ia masih dapat bekerja sebagai pemulung dan menghidupi keluarganya. Tak ada kata-kata “Walaupun Tidak Cukup” yang keluar dari lisannya. Ia seolah amat menikmati pekerjaannya itu. Kakinya terkena polio sejak kecil dan dengan kondisi itu ia tetap melangkahkan kakinya di jalanan Jakarta yang kadang begitu ganas dan tanpa kompromi bagi seorang pemulung seperti dirinya. Sepeda motor, bus kota ataupun mobil orang-orang berpunya bisa saja menyambarnya sewaktu-waktu dan jika itu terjadi, harapan istri dan anak-anaknya untuk memperoleh nafkah darinya akan pudar seketika.

Kadang kita bertanya pada diri sendiri, sejauh apa kebahagian hidup itu dapat kita rasakan? Apakah ketika semua kebutuhan kita terpenuhi? Atau apakah saat semua keinginan kita sudah dapat diperoleh? Ataukah ketika kita dapat membahagiakan orang-orang yang kita sayangi? Terutama orang tua kita? Ataukah juga ketika kita dapat membantu orang lain disaat yang sempit ataupun lapang?

Setiap diri kita ingin selalu mengejar kebahagian hidup dengan versinya masing-masing. Ada yang merasa berhasil dan hidup sangat mapan untuk kemudian bosan dengan kehidupan itu sendiri. Ada yang terus mengejarnya tanpa pernah merasa berhasil bagai sebuah perlombaan lari yang tidak pernah mencapai garis akhir. Melelahkan dan akhirnya kehilangan kepercayaan diri. Tapi ada yang amat menarik, ketika seorang hamba merasa bahwa tempat hidupnya di dunia ini hanyalah sebuah proses seperti roda yang berputar. Kadang ada di bawah dan kadang ada di atas. Sebuah kehidupan yang sementara dan ia hanya dinilai dari apa yang telah perbuat bukan apa yang ia dapatkan. Niat selalu ia luruskan dan ikhtiar (proses) selalu ia sandarkan kepada Rabb-nya Yang Maha Agung. Ketika hasil yang ia peroleh melebihi apa yang ia angankan, ia bersyukur dan ketika hasil tidak sesuai dengan yang ia harapkan ia bersabar.

Seorang teman pernah bertanya, “Kenapa harus ada hisab kelak di akhirat? Bukankah Allah Maha Tahu apa yang telah kita lakukan?” Bukankah lebih baik bagi Allah untuk langsung memasukkan kita ke dalam surga atau neraka saja?” Hamba itu member informasi kepadanya dengan sebuah hadis Qudsi, “Janganlah engkau pernah bertanya apa yang Allah Perbuat” (HR Bukhari).

Tanpa mengurangi rasa hormatnya kepada yang bertanya, Hamba itu hanya memberi ilustrasi bahwa umur yang Allah Azza wa Jalla berikan kepada kita adalah ibarat gelas. Amal sholeh adalah ibarat air putih dan murni yang kita isi ke dalamnya sedangkan perbuatan dosa ibarat kotoran yang dapat mengeruhkan air yang ada digelas itu. Kelak di hari ber-hisab, Allah Azza wa Jalla akan mempertontonkan kepada kita seberapa banyak gelas itu kita isi dengan air putih dan murni. Dan berapa banyak kotoran yang membuatnya menjadi keruh. Bagi sebagian orang bukanlah lagi keruh yang didapat tapi kepekatan yang menjadikan gelasnya hanya berisi lumpur dengan air yang telah mengering.

Seseorang yang selalu mengisi gelas kehidupannya dengan air yang murni akan mengikis dan mengeluarkan segala kotoran yang pernah ada dalam gelas tersebut. Alangkah indahnya ketika kelak di hari ber-hisab kita melihat gelas kehidupan kita terisi oleh air yang bersih yang telihat amat menyenangkan mata. Hamba itu kembali berpesan kepada temannya, “Percayalah, hidup ini adalah proses. Kita bukan dinilai dari apa yang kita dapatkan atau apa yang luput dari kita, tapi kita akan diminta pertanggungjawaban seperti apa kita melaluinya.”

Lebih dari tiga bulan sudah berlalu, hamba itu tidak pernah lagi melihat Bapak tua yang menarik gerobak sampah itu. Pada jalan yang sama dan pada waktu yang sama pula, wajahnya yang teduh tak pernah lagi terlihat. Kadang hamba itu harus memutar ke jalan yang sama dua sampai tiga kali. Tidak tahu kemana tempat mencari dan bertanya, akhirnya lantunan doa yang dapat dipanjatkan, “ Ya Rabb, Engkau telah mengajarkanku melalui seorang hamba-Mu yang amat sangat sederhana arti sebuah kehidupan. Kehidupan yang Engkau ridhai jika diisi dengan ketaqwaan dan amal shaleh yang selalu menyertai. Jika hamba Engkau itu masih ada di dunia ini, Ya Rabb, anugerahkan kepadanya selalu kehidupan yang menentramkan dan penuh kecukupan. Jika ia telah kembali kepada Mu, maka lapangkan kuburnya, dan hisab-lah ia dengan yang mudah kelak bagi seluruh amal sholehnya.”

Ketika doa itu selesai diucapkan dengan air mata yang masih menggenang, hamba itu kembali teringat akan pertemuannya dengan bapak tua itu lebih dari 3 bulan yang lalu dan bagaimana ia mendapatkan sebuah pelajaran akan sebuah ‘philosopi gelas’ dalam memahami arti sebuah kehidupan. Dan yang luar biasa adalah, ilmu itu bukanlah di dapat dari seorang professor dengan embel-embel gelar yang berderet mengiringi namanya, bukan pula dari seorang kiyai dengan ribuan pengikut dan kesholehan yang terpancar diwajahnya, tapi dari seorang pemulung sampah yang dengan hidayah Allah amat mengerti akan arti sebuah kehidupan dunia ini dan dijalaninya dengan baik.

Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya orang yang paling aku cintai dan yang paling dekat denganku di akhirat nanti adalah orang yang akhlaknya paling baik. Dan orang yang paling aku benci dan yang paling jauh dariku di akhirat nanti adalah orang yang paling jelek akhlaknya.” Seorang sahabat Nabi yang bernama Abu Tsa’balah ra bertanya, “Ya Rasulullah, siapakah orang yang paling jelek akhlaknya itu?” Nabi menjawab, “Yaitu orang yang paling banyak omongnya dan dibuat-buat, orang yang berlagak pintar dan orang yang sombong dan angkuh” (HR Ahmad dan Ath-Thabrani)

"Bekerjalah kamu, maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Maha Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS At Taubah [9]:105)


Dalam setiap perjalanan pulang melewati sebuah jalan yang sama pada waktu yang sama pula, terlihat oleh hamba itu seorang bapak tua yang sedang menarik gerobak sampah. Salah satu kakinya sedikit cacat yang mengakibatkan ia harus berjalan tertatih-tatih. Dengan wajah yang tegar, ia berjalan sambil sesekali menyeka peluh yang membasahi wajahnya. Sesekali waktu, hamba itu berhenti sekedar ingin memberikan sejumput sedeqah kepadanya. Ia tersenyum dan memuji Rabb-nya Yang Maha Agung sembari merapatkan tangannya untuk berdoa.

Ia mengungkapkan betapa bersyukurnya dirinya. Ia masih dapat bekerja sebagai pemulung dan menghidupi keluarganya. Tak ada kata-kata “Walaupun Tidak Cukup” yang keluar dari lisannya. Ia seolah amat menikmati pekerjaannya itu. Kakinya terkena polio sejak kecil dan dengan kondisi itu ia tetap melangkahkan kakinya di jalanan Jakarta yang kadang begitu ganas dan tanpa kompromi bagi seorang pemulung seperti dirinya. Sepeda motor, bus kota ataupun mobil orang-orang berpunya bisa saja menyambarnya sewaktu-waktu dan jika itu terjadi, harapan istri dan anak-anaknya untuk memperoleh nafkah darinya akan pudar seketika.

Kadang kita bertanya pada diri sendiri, sejauh apa kebahagian hidup itu dapat kita rasakan? Apakah ketika semua kebutuhan kita terpenuhi? Atau apakah saat semua keinginan kita sudah dapat diperoleh? Ataukah ketika kita dapat membahagiakan orang-orang yang kita sayangi? Terutama orang tua kita? Ataukah juga ketika kita dapat membantu orang lain disaat yang sempit ataupun lapang?

Setiap diri kita ingin selalu mengejar kebahagian hidup dengan versinya masing-masing. Ada yang merasa berhasil dan hidup sangat mapan untuk kemudian bosan dengan kehidupan itu sendiri. Ada yang terus mengejarnya tanpa pernah merasa berhasil bagai sebuah perlombaan lari yang tidak pernah mencapai garis akhir. Melelahkan dan akhirnya kehilangan kepercayaan diri. Tapi ada yang amat menarik, ketika seorang hamba merasa bahwa tempat hidupnya di dunia ini hanyalah sebuah proses seperti roda yang berputar. Kadang ada di bawah dan kadang ada di atas. Sebuah kehidupan yang sementara dan ia hanya dinilai dari apa yang telah perbuat bukan apa yang ia dapatkan. Niat selalu ia luruskan dan ikhtiar (proses) selalu ia sandarkan kepada Rabb-nya Yang Maha Agung. Ketika hasil yang ia peroleh melebihi apa yang ia angankan, ia bersyukur dan ketika hasil tidak sesuai dengan yang ia harapkan ia bersabar.

Seorang teman pernah bertanya, “Kenapa harus ada hisab kelak di akhirat? Bukankah Allah Maha Tahu apa yang telah kita lakukan?” Bukankah lebih baik bagi Allah untuk langsung memasukkan kita ke dalam surga atau neraka saja?” Hamba itu member informasi kepadanya dengan sebuah hadis Qudsi, “Janganlah engkau pernah bertanya apa yang Allah Perbuat” (HR Bukhari).

Tanpa mengurangi rasa hormatnya kepada yang bertanya, Hamba itu hanya memberi ilustrasi bahwa umur yang Allah Azza wa Jalla berikan kepada kita adalah ibarat gelas. Amal sholeh adalah ibarat air putih dan murni yang kita isi ke dalamnya sedangkan perbuatan dosa ibarat kotoran yang dapat mengeruhkan air yang ada digelas itu. Kelak di hari ber-hisab, Allah Azza wa Jalla akan mempertontonkan kepada kita seberapa banyak gelas itu kita isi dengan air putih dan murni. Dan berapa banyak kotoran yang membuatnya menjadi keruh. Bagi sebagian orang bukanlah lagi keruh yang didapat tapi kepekatan yang menjadikan gelasnya hanya berisi lumpur dengan air yang telah mengering.

Seseorang yang selalu mengisi gelas kehidupannya dengan air yang murni akan mengikis dan mengeluarkan segala kotoran yang pernah ada dalam gelas tersebut. Alangkah indahnya ketika kelak di hari ber-hisab kita melihat gelas kehidupan kita terisi oleh air yang bersih yang telihat amat menyenangkan mata. Hamba itu kembali berpesan kepada temannya, “Percayalah, hidup ini adalah proses. Kita bukan dinilai dari apa yang kita dapatkan atau apa yang luput dari kita, tapi kita akan diminta pertanggungjawaban seperti apa kita melaluinya.”

Lebih dari tiga bulan sudah berlalu, hamba itu tidak pernah lagi melihat Bapak tua yang menarik gerobak sampah itu. Pada jalan yang sama dan pada waktu yang sama pula, wajahnya yang teduh tak pernah lagi terlihat. Kadang hamba itu harus memutar ke jalan yang sama dua sampai tiga kali. Tidak tahu kemana tempat mencari dan bertanya, akhirnya lantunan doa yang dapat dipanjatkan, “ Ya Rabb, Engkau telah mengajarkanku melalui seorang hamba-Mu yang amat sangat sederhana arti sebuah kehidupan. Kehidupan yang Engkau ridhai jika diisi dengan ketaqwaan dan amal shaleh yang selalu menyertai. Jika hamba Engkau itu masih ada di dunia ini, Ya Rabb, anugerahkan kepadanya selalu kehidupan yang menentramkan dan penuh kecukupan. Jika ia telah kembali kepada Mu, maka lapangkan kuburnya, dan hisab-lah ia dengan yang mudah kelak bagi seluruh amal sholehnya.”

Ketika doa itu selesai diucapkan dengan air mata yang masih menggenang, hamba itu kembali teringat akan pertemuannya dengan bapak tua itu lebih dari 3 bulan yang lalu dan bagaimana ia mendapatkan sebuah pelajaran akan sebuah ‘philosopi gelas’ dalam memahami arti sebuah kehidupan. Dan yang luar biasa adalah, ilmu itu bukanlah di dapat dari seorang professor dengan embel-embel gelar yang berderet mengiringi namanya, bukan pula dari seorang kiyai dengan ribuan pengikut dan kesholehan yang terpancar diwajahnya, tapi dari seorang pemulung sampah yang dengan hidayah Allah amat mengerti akan arti sebuah kehidupan dunia ini dan dijalaninya dengan baik.

Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya orang yang paling aku cintai dan yang paling dekat denganku di akhirat nanti adalah orang yang akhlaknya paling baik. Dan orang yang paling aku benci dan yang paling jauh dariku di akhirat nanti adalah orang yang paling jelek akhlaknya.” Seorang sahabat Nabi yang bernama Abu Tsa’balah ra bertanya, “Ya Rasulullah, siapakah orang yang paling jelek akhlaknya itu?” Nabi menjawab, “Yaitu orang yang paling banyak omongnya dan dibuat-buat, orang yang berlagak pintar dan orang yang sombong dan angkuh” (HR Ahmad dan Ath-Thabrani)

0 comments:

Ya Allah...

Apapun Ibadah Kami Jadikan itu sebagai tanda syukur dan tanda bakti kami kepada-Mu

Recent Comments

Promo/Iklan

 
Copyright © 2010 An-Nafsy' | Design : Noyod.Com Sponsored by NewBloggerTemplates